Minggu, 08 Desember 2019

Cerita Bimasena

MAKNA AJARAN DEWA RUCI

- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

1.    Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2.   Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya.

Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.    Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2.     Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3.     Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4.    Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5.     Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6.    Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7.  Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8.     Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9.     Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10.   Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11.   Samadi.
12.   Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci

Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
-    Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
-    Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan.
Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

Tanda emas diantara mata
Artinya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1.     Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2.    Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.

Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka seni budaya daerah (wayang).

motto
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

sumber: media seni budaya (wayang) Indonesia















Kisah Bimasena (Penengah Pandawa)

Dewa Ruci dan Aria Werkudara (Bimasena)


Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci. Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Astina, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Amarta, (yang sebenarnya adalah: bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan, Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru, walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

Diceritakan Pada saat di negeri Astina, Prabu Suyudana Raja Mandaraka Prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu, maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk, dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka, akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya, untuk sementara mereka merayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian.

Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut. Karena kelelahan, kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna : bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.

Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta. (tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.

Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”.

“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.

Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”.

Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya : ”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih: ”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.

Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakekatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati".

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.

Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan".

Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.

Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

Kembali ke Negeri Ngamarta

Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.

Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi, tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.

Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka seni budaya daerah (wayang).

motto
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

sumber: media seni budaya (wayang) Indonesia











Figur Dewi Kunthi Talbrata

Cerita Wayang Dewi Kunthi (dalam Bahasa Jawa)

Miturut Kitab Mahabarata, Dewi Kunthi uga sing diarani Kunthi Talibranta utawa Dewi Prita yaiku kalebu Putri sing kepilih. Dewi Kunthi ngewujudake keturunan keluarga Yadama, putri Prabu Basukunthi, Raja ing Mandura. Dewi Kunthi nduweni sedulur yaiku Arya Basudewa, Arya Prabu Rukma, lan Arya Ugrasena.

Ana ing pewayangan, Dewi Kunthi nduweni watak kang welas asih lan tresna. kawit cilik deweke wis mulai ngangsu kawruh lan ngolah batin. Dheweke ngangsu kawruh karo Resi Druwasa, guru spiritual saka Kraton Mandura. Saka Resi Druwasa, Dewi Kunthi disanguni mantra Adyitahredaya utawa Aji Pameling sing mampu nyepaki Bhatara Surya. Kamangka kuwi Dewi Kunthi ngandhut saka Bhatara Surya. Padahal wektu kuwi Dewi Kunthi isih dilamar para Raja lan satria saka manca negara. Kanggo nemtukake sapa kang bakal dadi garwane, Prabu Basukunthi nganakake saymbara "Giri Patembaya" kang isine: sapa wonge sing bisa ngalahake Arya Basudewa bakal dijodohke karo Dewi Kunthi. Ananging Prabu Basukunthi murka amarga ngerti yen anake ngandhut. apa maneh Dewi Kunthi durung nduwe garwa. amarga Raja murka, Dewi Kunthi banjur diutus maca mantra "Aji Pameling" kanggo ngrawuhake Resi Druwasa supaya ngadhep Prabu Basukunthi.amarga saka keampuhan lan kesaktiane Resi, bayi kang dikandhut Dewi Kunthi bisa lair liwat talinga. Saengga Dewi Kunthi tetep bisa kajaga keperawanane, lan bayi mau diwenehi jeneng "Karna" uga bisa diarani Suryatmaja utawa Suryaputra.

Kanggo njaga kehormatane kerajaan, Karna banjur digawa Resi Druwasa lan dilarung. Bayi mau ditemu Kusir Kreta Kerajaan Ngastina sing jenenge Adirata. Sayembara utawa perang tandhing sing digelar mau dimenangke dening Narasoma, putra Raja Mandaraka. Dewi Kunthi langsung dipasrahake. Ananging Prabu Narasoma wis ngucap sumpah ora bakal nggarwa kajaba karo Dewi Pujawati, mangka hak sayembara pindah ing Narasoma. Akhire Narasoma perang tandhing dening Pandu sing telat teka ing acara sayembara. Pandu akhire sing menang tandhing dening Narasoma, yaiku bisa ngalahake Aji Canrabirawa duweke Narasoma sing terkenal ampuh. Kunthi banjur dipasrahake.Kanggo ngakoni tanda kekalahane Narasoma, adine Narasoma kang aran Dewi Madrim uga dipasrahake dening Pandu.

Ana ing tengah ndalan nalika bali ning Ngastina, Pandu ketemu dening Arya Suman utawa Sengkuni, putra Prabu Gandara, sing sajake uga pingin milu sayembara perang tandhing. Nanging amarga telat ora sida perang, ning Sengkuni langsung nantang perang tandhing nglawan Pandu. Nanging Sengkuni uga bisa dikalahke, banjur Dewi Gendhari, adine sengkuni dipasrahake dening Raden Pandu.

Raden Pandu bali ing Ngastina nggawa telung putri. sawise tekan kraton, Pandu banjur masrahake putri-putri mau dening Ramane, Wiyasa. sabanjure Wiyasa dawuh dening Destarasta supaya milih dhisit salah siji putri mau. Destaratra milih Dewi Gendhari adine Sengkuni. Saengga putri loro mau yaiku Dewi Kunthi lan Dewi Madrim resmi dadi garwane Raden Pandu.
Saka Dewi Kunthi, Raden Pandu nduwe telung putra yaiku Puntadewa,Werkudara, lan Arjuna. Dene saka Dewi Madrim, Raden Pandu duweni putra kembar kang aran Nakula lan Sadewa.

Tatkala Negara Ngastina dipasrahake dening Prabu Destarasta, Dewi Kunthi kang wakil saka Pandhawa nganakake perjanjian supaya Prabu Destarastra nguwasani Ngastina tekan nalika. Pandhawa wis mampu nata praja. Sabanjure Ngastina bakal diserahna maneh dening Pandhawa. Perjanjian mau disaksikan Prabu Matswapati, Raja Wirata, Prabu Drupada, Raja Pancala, Resi Drona, Prabu Salya, Raja Mandaraka, lan Begawan Wiyasa. Ananging amarga pengaruh Dewi Gendhari lan Arya Sengkuni, negara Ngastina dadi bahan rebutan antara Kurawa lan Pandhawa.

Dewi Kunthi lan Pandhawa nuntut baline negara Ngastina. Sawise bola-bali dirembug nanging ora ana hasile. Sabanjure Dewi Kunthi nuntut dening Prabu Matswapati lan Sri Kresna supaya dadi pinengahe pandhawa lan kurawa. Nanging amarga kabeh macem rembugan ora nggawa hasil kang becik, Dewi Kunthi lan Pandhawa nempuh sarana perang tandhing, perang Bharatayudha. Pandhawa mampu numpas bala kurawa lan wis mesti Negara Ngastina bali dadi milik Pandhawa maneh. Dewi Kunthi ngrasa wis rampung kewajibane. Prabu Destarastra lan Dewi Gendhari banjur lunga saka Ngastina lan nyepi(tapa) ing tengah alas, kuwi uga sing dilakoni dening Dewi Kunthi. Akhire Dewi Kunthi, Dewi Gendhari, lan Prabu Destarastra kebakar ana ing tengah alas.
  Nilai-nilai kang kandhut ing cerita babagan Dewi Kunthi yaiku :
  Kudu bisa nepati janji.
  Luwih becik yen paseduluran digawe tentrem ayem.
  Yen dipasrahi dadi saksi kudu mampu ngrewangi mlaku ning dalan kang bener.

Miturut Kitab Mahabarata, Dewi Kunthi uga sing diarani Kunthinalibranta lan Dewi Prita yaiku kalebu Putri sing kepilih. Dewi Kunthi ngewujudake keturunan keluarga Yadama, putri Prabu Basukunthi, Raja ing Mandura. Dewi Kunthi nduweni sedulur yaiku Arya Basudewa, Arya Prabu Rukma, lan Arya Ugrasena.

Ana ing pewayangan, Dewi Kunthi nduweni watak kang welas asih lan tresna. kawit cilik deweke wis mulai ngangsu kawruh lan ngolah batin. Dheweke ngangsu kawruh karo Resi Druwasa, guru spiritual saka Kraton Mandura. Saka Resi Druwasa, Dewi Kunthi disanguni mantra Adyitahredaya utawa Aji Pameling sing mampu nyepaki Bhatara Surya.Kamangka kuwi Dewi Kunthi ngandhut saka Bhatara Surya. Padahal wektu kuwi Dewi Kunthi isih dilamar para Raja lan satria saka manca negara. Kanggo nemtukake sapa kang bakal dadi garwane, Prabu Basukunthi nganakake sayembara "Giri Patembaya" kang isine : sapa wonge sing bisa ngalahake Arya Basudewa bakal dijodohke karo Dewi Kunthi. Ananging Prabu Basukunthi murka amarga ngerti yen anake ngandhut. apa maneh Dewi Kunthi durung nduwe garwa. amarga Raja murka, Dewi Kunthi banjur diutus maca mantra "Aji Pameling" kanggo ngrawuhake Resi Druwasa supaya ngadhep Prabu Basukunthi.amarga saka keampuhan lan kesaktiane Resi, bayi kang dikandhut Dewi Kunthi bisa lair liwat talinga. Saengga Dewi Kunthi tetep bisa kajaga keperawanane, lan bayi mau diwenehi jeneng "Karna" uga bisa diarani Suryatmaja utawa Suryaputra.

Kanggo njaga kehormatane kerajaan, Karna banjur digawa Resi Druwasa lan dilarung. Bayi mau ditemu Kusir Kreta Kerajaan Ngastina sing jenenge Adirata. Sayembara utawa perang tandhing sing digelar mau dimenangke dening Narasoma, putra Raja Mandaraka. Dewi Kunthi langsung dipasrahake. Ananging Prabu Narasoma wis ngucap sumpah ora bakal nggarwa kajaba karo Dewi Pujawati, mangka hak sayembara pindah ing Narasoma. Akhire Narasoma perang tandhing dening Pandu sing telat teka ing acara sayembara. Pandu akhire sing menang tandhing dening Narasoma, yaiku bisa ngalahake Aji Canrabirawa duweke Narasoma sing terkenal ampuh. Kunthi banjur dipasrahake.Kanggo ngakoni tanda kekalahane Narasoma, adine Narasoma kang aran Dewi Madrim uga dipasrahake dening Pandu.

Ana ing tengah ndalan nalika bali ning Ngastina, Pandu ketemu dening Arya Suman utawa Sengkuni, putra Prabu Gandara, sing sajake uga pingin milu sayembara perang tandhing. Nanging amarga telat ora sida perang, ning Sengkuni langsung nantang perang tandhing nglawan Pandu. Nanging Sengkuni uga bisa dikalahke, banjur Dewi Gendhari, adine sengkuni dipasrahake dening Raden Pandu.

Raden Pandu bali ing Ngastina nggawa telung putri. sawise tekan kraton, Pandu banjur masrahake putri-putri mau dening Ramane, Wiyasa. sabanjure Wiyasa dawuh dening Destarasta supaya milih dhisit salah siji putri mau. Destaratra milih Dewi Gendhari adine Sengkuni. Saengga putri loro mau yaiku Dewi Kunthi lan Dewi Madrim resmi dadi garwane Raden Pandu.

Saka Dewi Kunthi, Raden Pandu nduwe telung putra yaiku Puntadewa,Werkudara, lan Arjuna. Dene saka Dewi Madrim, Raden Pandu duweni putra kembar kang aran Nakula lan Sadewa.

Tatkala Negara Ngastina dipasrahake dening Prabu Destarasta, Dewi Kunthi kang wakil saka Pandhawa nganakake perjanjian supaya Prabu Destarastra nguwasani Ngastina tekan nalika. Pandhawa wis mampu nata praja. Sabanjure Ngastina bakal diserahna maneh dening Pandhawa. Perjanjian mau disaksikna Prabu Matswapati, Raja Wirata, Prabu Drupada, Raja Pancala, Resi Drona, Prabu Salya, Raja Mandaraka, lan Begawan Wiyasa. Ananging amarga pengaruh Dewi Gendhari lan Arya Sengkuni, negara Ngastina dadi bahan rebutan antara Kurawa lan Pandhawa.

Dewi Kunthi lan Pandhawa nuntut baline negara Ngastina. Sawise bola-bali dirembug nanging ora ana hasile. Sabanjure Dewi Kunthi nuntut dening Prabu Matswapati lan Sri Kresna supaya dadi pinengahe pandhawa lan kurawa. Nanging amarga kabeh macem rembugan ora nggawa hasil kang becik, Dewi Kunthi lan Pandhawa nempuh sarana perang tandhing, perang Bharatayudha. Pandhawa mampu numpas bala kurawa lan wis mesti Negara Ngastina bali dadi milik Pandhawa maneh. Dewi Kunthi ngrasa wis rampung kewajibane. Prabu Destarastra lan Dewi Gendhari banjur lunga saka Ngastina lan nyepi(tapa) ing tengah alas, kuwi uga sing dilakoni dening Dewi Kunthi. Akhire Dewi Kunthi, Dewi Gendhari, lan Prabu Destarastra kebakar ana ing tengah alas.  

Kunthi Talibrata

Seorang ibu mempersiapkan jiwa dan raganya agar indung telurnya dibuahi. selanjutnya indung telur yang berubah menjadi sel induk dipelihara dalam rahim yang kokoh nan lembut untuk difasilitasi bagi perkembangan janin dan dibawa kemanapun juga selama sembilan bulan sepuluh hari. Setelah sang bayi lahir, diberinya sang anak makanan dari air susunya, diajarinya bicara dengan penuh kesabaran, bahkan terus menerus dido’akannya sampai akhir hayat dirinya. Demikianlah kasih seorang ibu.

Nama Dewi Kunti kecil bernama Pritha, bersaudara dengan Basudewa dan Ugrasena, akan tetapi kemudian dijadikan anak angkat oleh Prabu Kuntibhoja yang bijaksana. Dewi Kunti seorang putri berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tuanya, serta penuh kasih terhadap sesama. Pada suatu ketika, ada seorang pendeta bernama Resi Durwasa mengunjungi Prabu Kuntibhoja. Resi itu baru saja mengakhiri tapa bratanya dan datang ke istana untuk minta makan. Dewi Kunti menyediakan berbagai jenis makanan yang lezat bagi tamunya tersebut. Sang Resi Durwasa tersentuh oleh ketulusan sang puteri raja dan diberilah dia Mantra Aji Gineng, Aditya Herdaya. Mantra tersebut dapat dipergunakan untuk mendatangkan Dewa, mendatangkan kekuatan Ilahi, semacam penemuan cara membuat bayi tabung saat ini. Anugerah mantra yang diberikan kepada Dewi Kunti tersebut nantinya akan menyelamatkan kelangsungan Dinasti Bharata.

Sebagai seorang remaja, keingin tahuan Dewi Kunti teramat besar. Dewi Kunti ingin tahu keampuhan mantra yang dihadiahkan kepadanya. Dewi Kunti memperhatikan Sang Surya, dan dia paham bahwa semua makhluk di bumi hanya hidup berkat adanya Sang Surya. Tanpa adanya Sang Surya, semua makhluk di bumi ini akan punah. Dewi Kunti merapal mantra pemberian Resi Durwasa dan mengakses kekuatan matahari, dan dia kaget dengan hasilnya, ternyata rahimnya diberkahi seorang putra dari Sang Surya. Sebagai seorang ibu dadakan, Dewi Kunti berada dalam dilema, memilih menjaga nama baik kerajaan dan orang tuanya atau memelihara Sang Putra.

Atas petunjuk Hyang Widhi, bayi tersebut bisa dilahirkan semacam bedah sesar masa kini tanpa bekas, dan dikisahkan oleh para leluhur lahir melalui telinga. Dewi Kunti meletakkan bayinya di dalam keranjang, dilarung, dibiarkan mengikuti arus Sungai Gangga. Petunjuk selanjutnya didengarnya lewat hati nurani, ”Kau harus mempersiapkan mental dan syaraf-syarafmu, kau akan mengalami penderitaan yang luar biasa akibat tindakanmu. Akan tetapi kau tidak akan sendiri, kau akan ditemani putra-putramu dalam menyelesaikan hutang piutang karma. Sebuah grup karma dalam keluarga. Pakailah pikiran jernih! Bersama putra-putramu nanti kau akan dipandu salah seorang keponakanmu, yang menjadi titisan Batara Wisnu, sejatinya dia juga yang menjadi pikiran jernih dalam jiwamu ……

Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka seni budaya daerah (wayang).

motto
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia


sumber: media seni budaya (wayang) Indonesia