Dewa Ruci dan Aria Werkudara (Bimasena)
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli
wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara
Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa
Ruci. Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro
berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat,
berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta
dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa
pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Astina, ingin menjerumuskan pihak Pandawa
dinegeri Amarta, (yang sebenarnya adalah: bersaudara) ke dalam kesengsaraan,
melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno
diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan, Sena
diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke
hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu
dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah
sang Guru, walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri
Astina, Prabu Suyudana Raja Mandaraka Prabu Salya sedang rapat membahas
bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum
terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden
Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena,
Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para
sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk
kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu, maka akan berarti
dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk, dilindungi
ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka, akan hidup kekal adanya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di
gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna
dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua
tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua
raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya, untuk sementara mereka merayakan dengan bersuka-ria, pesta
makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung
Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya
diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah
dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua
raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk.
Terjadi perkelahian.
Namun dalam perkelahian dua Raksaksa
tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur.
Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia
bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut. Karena
kelelahan, kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat
lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala,
Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan
lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang
perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna : bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab
tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga
membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun
nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke
Ngamarta. (tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena
yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu
Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan
datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari
Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya
para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang
agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat
para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan
lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena
Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu
ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana
laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa
takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut.
Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak
kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera,
topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi
petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada
pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke
dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan
mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan
kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu,
masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang
laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas,
lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang
menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara
anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan,
mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal
lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat
mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya,
kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu
mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati
dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh
Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari
dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari
Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil
menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara
yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak
kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena
apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang
dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering
yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula
:”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak
mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak
terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar,
disini tidak mungkin ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang
Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para
raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi
Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra
tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim,
genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna
untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi
petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati
hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi
bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan,
janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam
hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi
kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham,
akan tempat yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci
menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke
dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya : ”Tuan ini
bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun
tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih: ”besar mana dirimu
dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua
isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk
Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah
laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu
timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang,
tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari,
nyaman rasa hati.
Ada empat macam
benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu
berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu
namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu,
maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan
hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu
jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakekatmu,
sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati".
Yang hitam
kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi
tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan
keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang
kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang
suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam,
merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan
Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara
melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang
dicari, apakah gerangan itu?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air
suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar
bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak
berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada
orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat,
adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira
dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak
ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang
tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi
oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan
Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut
lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui,
kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin
mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh
dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan
hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih,
jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang
keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami
hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam
pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri,
menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada
diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu
dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar,
persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang
yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan
sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran
misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat
tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi
jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma
Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri,
dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu
namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini
karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah
paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk
disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup
dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar
melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara
setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima
dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya.
Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau
kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi
yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati
ialah dalam cara melaksanakan".
Dewa Ruci
selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah
dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah
kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata Wrekudara lalu
mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran
salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya,
seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa
ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa
petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkan pikiran, belum tentu akan
mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak
tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang
benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat
duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya,
mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia
hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik
layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung
matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah
pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang
menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus
berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api
dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar
kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya
yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai
rahasia.
Kembali ke
Negeri Ngamarta
Tekad yang
sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan
tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya,
sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan
untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang
tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah
perjalanannya.
Bersamaan
dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama
Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar
samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai
perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa
yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi, tidak ada air
penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah
nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka
seni budaya daerah (wayang).
motto
- Warisan
budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban
bangsa.
- Melestarikan budaya
nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia
sumber: media seni budaya (wayang) Indonesia